Jumat, 21 Juni 2013

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM DINASTI FATHIMIYAH

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Awal Pembentukan dan Perkembagan Dinasti Fatimiyah di Mesir
*      Pembentukan Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah ini mengaku sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. atas dasar inilah mereka menisbatkan diri dengan nama Fatimiyah. Khalifah pertama mereka adalah Ubaidillah al-Mahdi di samping itu Khalifah Fatimiyah ini mempunyai pemimpin lain yaitu Ali Ibn Fadhi al-Yamani, Abi Qasyim Khatam Ibn Husain Ibn Hausah al-Kufi, AI-Halawani dan Abu Sofyan. Ubaidillah al- Mahdi yang telah memulai aktivitas di tahun 909 M. dia datang dari Syuriah ke Afrika Utara, menyamar sebagai pedagang, lalu tertangkap oleh Amir Dinasti Aghlabi ziadallah III dibantu oleh gebernurnya al-Yasa, Ubaidillah dipenjarakan di Sijilmasah.[1]
Kelompok yang dipimpin Abdullah Asy-syi'i ingin membebaskan Ubaidillah dari penjara Sijilmasah, melihat kelompok Asy-syi’i ini al-Yasa merasa takut lalu melarikan diri meninggalkan kediamannya. Dengan demikian Asy-syi'i dapat melepaskan Ubaidillah dan anaknya pada waktu itu pula Asy-Syi'i mengangkat Ubaidillah menjadi Khalifah tepatnya di tahun 297/ 909 M.[2]
Khilafah Fatimiyah ini berdiri di Afrika dengan ibu kotanya Raqadah di pinggiran kota Kairawan. Dengan kejadian seperti ini dapatlah dikatakan bahwa Ubaidillah dan pendukungnya telah dapat merebut kekuasaan Bani Ahglab secara Defacto. Daerah pusat pemerintahan Ahglab ini dijadikan tempat pemusatan dakwah Syi'ah. Ubaidillah memulai aksi politiknya dengan menghilangkan nama Khalifah Bani Abbasiah yang selalu disebut dalam khutbah. Di kota Kairawan Ubaidillah disambut oleh masyarakat, mereka membai'at dan menyatakan keta'atan terhadap Ubaidillah, namanya disebut di dalam khutbah dengan gelar "al-Mahdi Amir al-Mukminin", maka saat itu khalifah Fatimiyah telah diakui dan resmi berdiri. Pemimpin Aghlabiyyah terakhir Ziyadatullah III, diusir ke Mesir pada tahun 296 H/909 M, setelah upaya untuk mendapatkan bantuan dari ‘Abbasiah (dibawah pimpinan al-Muqtadir) sia-sia.[3]
Jika diperhatikan secara cermat, penyerangan yang dilakukan oleh orang Fatimiyah ini bukan saja merebutkan pemerintahan, tetapi secara otomatis pula mereka mengalahkan kaum Sunni (Bani Ahglab), yang sejak dahulu menjadi musuh Syi'ah.
Pada tahun yang sama, Da’i termasyhur Abu' Abdullah Asy-Syi'i, berusaha menaklukkan kekuasaan Rustamiyah di Tahart dengan upaya penyerangan terhadap keluarga Rustamiyah. Asy-syi'i didukung oleh orang-orang Beber Ketama.[4] Bangkitnya Fatimiyah yang Syi'i di Maroko ini melemahkan Dinasti Rustamiyah, dan dinasti-dinasti lokal di Maghribi. Dalam penyerangan Asy-Syi itu banyak keluarga Rustamiah terbunuh, dan diantaranya ada yang melarikan diri ke Wargla (daerah Selatan). Maka secara politis Rustamiyah tunduk kepada Fathimiyah.
Perlu diketahui bahwasanya obsesi dari Ubaidillah dan Abu Abdullah asy-Syi’i ini, untuk merebut Tahart sangat baik, karena pada waktu itu Tahart adalah sebuah kota yang makmur di bawah pemerintahan Rustamiyah, menjadi terminal di Utara, dari salah satu rute Kafilah Trans-Sahara, memikat penduduk Kosmopolitan diantaranya kelompok pedagang Persia dan Kristen, menjadi pusat keserjanaan. Secara historis Tahart adalah pusat perkumpulan Kharijiyah diseluruh Afrika Utara dan di luar Afrika. Dari dua kali penaklukan ini Dinasti Fatimiah mulai tampak memperluas daerah kekuasaannya, sehingga menguasai seluruh wilayah Afrika Utara sampai ke Maroko, hingga ke perbatasan Mesir. Tahun 920 pemerintahan Fatimiyah ini sudah stabil, Ubaidillah al-Mahdi membangun sebuah kota baru di bagian Tenggara Kairawan di daerah pantai Tunisia yang diberinya nama al-Mahdiyat, kota ini dijadikan pusat pemerintahannya.[5]
Pada tahun 309 H/921 M, Ubaidillah mengerahkan tenteranya untuk menyerang dan menduduki kota Fez, ibu kota Dinasti Idrisiyah, penguasa Idrisiah Yahya IV Waktu itu terpaksa mengakui kedaulatan Fatimiyah, Kota Fez diduduki tentera Fatimiyah. Setelah itu kekuasaan Idrisiyah mencapai daerah pelosok Maroko, dari Tamdult di Selatan sampai ke daerah Beber Ghomara di Rif (Maroko Utara). Idrisiyah yang berada di Rif ini selain mendapat ancaman dari Fatimiyah, juga mendapat ancaman dari Dinasti Umayyah di Spanyol, yang menerapkan kebijaksanaannya di Afrika utara (Maghrib).[6]
Abdurrahman sebagai pemimpin Bani Umayyah di Spanyol berada di puncak kejayaannya di Faroh pertama abad ke-10 itu, juga merasa khawatir sekali akan ancaman, yaitu berkembangnya Dinasti Fatimiyah. Sehingga pada tahun 929 M Abdurrahman III, mamakai gelar "Khalifah" dan memakai gelar kerajaan “Nasir Lidinillah”, ini bukanlah pernyataan penguasa seluruh negeri Islam, tetapi hanya suatu penegasan bahwasanya dia tidak berada di bawah kekuasaan otoritas Muslim. Abdurrahman merasa Khawatir akan kekuasaan Dinasti Fatimiyah, yang terkenal dengan penggalangan massa melalui dakwah itu. Di sisi lain Bani Fatimiyah tidak mampu membuat Maghrawa dan Zenata menjadi jajahan mereka, karena orang Maghrawa dan Zanata sangat membenci Fatimiyah, mereka lebih suka berada di bawah pimpinan Bani Umayyah di Spanyol. Pada akhirnya Fatimiyah memadamkan pemberontakan kaum Khawarij yang dipimpin oleh Uba Yazid Sajadi tahun 942-944 H.[7]
Selanjutnya Bani Fatimiyah mengalihkan perhatiannya ke wilayah Afrika Utara yaitu Mesir sesuai dengan keinginan al-Mahdi.
*      Pembentukan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Obsesi yang tersirat dalam pendirian Bani Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam; yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekonomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi Mesir yang terletak di daerah Bulan Sabit yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas perdagangan yang strategis; perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.[8]
Dari segi faktor politik, Mesir terletak di wilayah yang strategis menurut peta politik, daerah ini dekat dengan Syam, Palestina dan Hijaz yang juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tulun. Bila Fatimiyah dapat menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai Madinah sebagai pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua ibu kota ternama di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Dengan demikian maka nantinya Dinasti Fatimiyah ini akan cepat masyhur dan di kenal Dunia. Untuk mencapai hal yang telah dicanangkannya ini Ubaidillah al-Mahdi memerintahkan anaknya Qal-Qasim, melakukan ekspedisi ke Mesir, perjalanan ini dilakukan berturut -turut pada tahun 913, 919 dan 925 H, akan tetapi ekspedisi ini tidak berhasil. AI- Muiz, Khalifah keempat dari Dinasti Fatimiyah melanjutkan rencana penaklukan yang dicita-citakan oleh Khalifah pertama Bani Fatimiyah (Ubaidillah al-Mahdi), dia memulai seterategi baru yakni merangkul kelompok Beber yang ingin melakukan pemberontakan terhadap Fatimiyah, semua kelompok itu dapat ditundukkannya. Setelah itu orang Fatimiyah mengadakan persiapan yang cermat, disamping itu mereka mengadakan propaganda politik di saat Mesir dilanda bencana kelaparan yang hebat. Jauhar menerobos Kairo lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan dia dapat menguasai negeri itu. Seorang pangeran Ikhsidiyah yang bernama Ahmad masih berkuasa pada waktu itu, tetapi rezim Ikhsidiah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan kepada tentera Jauhar.[9]
Jauhar memasuki Mesir bersama 100.000 tentera.[10] Jauhar mulai membangun kota baru yang diberinya nama al-Qahirah berarti kemenangan di kota ini dia menempatkan bala tenteranya. Serangan ke Mesir ini dilakukan pada tahun 358 H atau 969 M. Setelah al-Qahirah (Kairo) dibangun; pada tahun 973 M pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah dipindahkan ke Kairo dan bertahan sampat tahun 1171 M.[11]
Kota Kairo juga sebagai tempat kediaman para Khalifah Fatimiyah. Maka pembentukan kekuasaan (Khilafah) Fatimiyah ini, tercatat di masa pemerintahan al-Muizz. Persiapan awal yang dijalankan pertama kali adalah:
a.       Merangkul kelompok yang ingin memberontak
b.       Mempersiapkan tentera untuk melakukan penyerangan
c.        Membangun jalan raya menuju ke Mesir
d.      Menggali sumur-sumur di pinggiran jalan raya menuju ke Mesir
e.        Membangun rumah tempat peristirahatan (tentara)
f.        Mempersiapkan dana (keuangan guna perbekalan bagi pasukan Fathimiyah).[12]
Sebagai Panglima yang dipercayakan memimpin tentara pada penaklukan Mesir itu, Jauhar menjalankan aksi politik Fatimiyah bagi penduduk Mesir yaitu dengan :
1)      Memberikan keyakinan kepada penduduk tentang kebebasan mereka   menjalankan ibadah menurut agama dan mazhab mereka masing-masing.
2)      Berjanji akan melaksanakan pembangunan di negeri itu dan akan menegakkan keadilan.
3)      Mempertahankan Mesir dari serangan musuh.[13]
4)      Menghapuskan nama-nama khalifah bani Abbasiah yang disebut-sebut dalam do’a.
5)       Ketika shalat jumat dan digantikan dengan nama Khalifah Fathimiyah.
6)      Menata pemerintahan
Penataan pemerintahan yang dilakukan Jauhar adalah menetapkan kedudukan Ja'afar ibn al-Fadl ibn al-Furat di Mesir, sebagai wazir di Mesir. Pegawai dari golongan Sunni tetap pada posisi semula ditambah dengan seorang pegawai dari Syi'ah Mahgribi di setiap bagian.
Masyarakat Mesir terdiri dari tiga golongan yakni Golongan Sunni, golongan Kristen Koptic dan golongan Syi'ah. Semuanya dibebaskan menjalankan ajaran agamanya masing- masing. Dari setiap mazhab yang ada diangkat seorang qadhi. Dengan demikian masyarakat Mesir yang beraliran Sunni itu tidak merasa khawatir dan tidak menentang pemerintahan yang beraliran Syi’ah IsmaiIiyah ini, rakyat menaruh simpati kepada pemerintahan Fatimiyah, propaganda Syi'ah yang dijalankan oleh Jauhar ini berhasil. Pola pemerintahan yang dijalankan Fatimiyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiah di Bahgdad.
Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat seremoni yang megah. Golongan Fatimiah ini mengaku diri mereka keturunan Nabi, yang pantas memegang tampuk kepemimpinan kekhalifahan, meskipun Syi'ah Ali menentang mereka. Dinasti Fatimiyah ini semula, mandapat dukungan dari golongan Qaramit dan dalam perkembangannya kedua kelompok ini bermusuhan, kemungkinan karena perbedaan prinsip.
Sumber kehidupan Fatimiyah dari pertanian dan hasil kerajinan serta hasil perdagangan dan lintas perjalanan dagang di Medetaranian dan Laut Merah itu membuat mereka dapat hidup dengan senang dan cukup pula untuk membiayai tentera yang diambil dari luar Mesir seperti tentara suku Bebber, dan orang-orang kulit hitam dari Sudan serta orang-orang Turki.
Keberhasilan Fatimiyah mengembalikan Hajar al-aswad ke Mekkah, setelah 10 tahun lamanya di tangan Qaramithah (dipimpin Hamdan bin Qarmath); merupakan satu keberhasilan yang gemilang sehingga daerah-daerah yang semula mengakui kekuasaan Ikhsidiah, Mekah dan Madinah dan dengan cepat mengakui Fatimiyah. Setelah memerintah selama 22 tahun, al-Mu'iz telah dapat memimpin negara dengan baik, dapat dikatakan khilafah Fatimiyah berdiri kokoh, sesudah beliau wafat kepemimpinan Dinasti Fatimiyah berturut-turut dipimpin Khalifah, al-'Aziz (anak al-Mu'iz), al-Hakim (996M), al-azh-Zahir (1021 M), al-Mustansir (103 M), al-Musta'ali (1094 M , al-Amir (1101 M), al-Hafiz (1131M ), azh-Zhafir (1154 M), al- Fa'iz (1154 M), al-'Adhid (1171 M). Lamanya Dinasti Fatimiyah berdiri 208 tahun. Sebelum khalifah di atas, yaitu Ubaidillah al-Mahdi, Qo’im (322 H/934 M), Mansur (334 H/945 M), dan Mu’iz (341 H/952 M).[14] Kesemuanya berjumlah empat belas khalifah.

B.     Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah di Mesir
Masa kegemilangan khilafah Fathimiyah di tandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke kairo pada tahun 1973.  Dengan berpindahnya ibu kota tersebut telah menawarkan prospek baru bagi kemajuan khilafah ini. Indikasi-indikasi kemajuan yang terjadi masa khilfah Fathimiyah di Mesir dapat diamati dalam beberapa bidang antara lain: bidang politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, administrasi, militer, seni dan arsitektur.
1.      Bidang Politik
Kemajuan khilafah Fathimiyah di bidang politik antara lain terlihat dari ekspansi wilayah yang dilakukannya. Pada masa khilafah ini ekspansi ayau perluasan wilayahnya telah meliputi seluruh Syiria, sebagian Mesopotamia, perbatasan sungai Efrat, Hijaz, Yaman, dan Aleppo.
Untuk memperkokoh kedudukan pemerintahannya, khilafah Fathimiyah menjalin hubungan yang baik dengan Byzantium dan juga dengan mengirimkan para Dainya ke beberapa daerah antara lain seperti daerah Sind dan Yaman.  Upaya menjalin hubungan baik antara bangsa dengan pengiriman Da’i tersebut sangat esensial sekali untuk menjaga intergitaas wilayah, menciptakan suasana perdamaian dan sekaligus akan membawa kemajuan khilafah ini.
2.      Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan mampu mengolah alam ciptaan Allah SWT secara baik dan bahkan akan menjadi umat yang tertinggal dan terbelakang.
Pada masa kekhilafahan Fathimiyah, antusias masyarakat maupun pemerintahan terhadap ilmu pengetahuan cukup tinggi. Ini terbukti dengan diberikannya bea siswa bagi orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan oleh khilafah dan dibangunnya pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan seperti: Dar al-Hikmah atau Dar al-llm,  dan universitas al-Azhar.  Di universitas ini diajarkan berbagai ilmu pengetahuan antara lain: ilmu optic, kedokteran, fiqih, tauhid, nahwu, bahasa Arab, bayan, mantiq, matematika, dan lain-lain.[15]



[1] Philip K Hitti. History of the Arab. 1970. London. Macmillan Press. hal 617

[2] Muhammad Jamal al- Din al surur. Al-Daulah al-Fatimiyah fi Mishri. 1979. Dar al-Fikri. hal 16-19.
[3] Boswort. C.E. Dinasti-dinasti Islam. 1980. Bandung. Penerbit Mizan. hal 47

[4] Ibid. hal 49
[5] Philip K Hitti. Loc.cit. hal 67
[6] Boswort. C.E. Dinasti-dinasti Islam. Loc.cit. hal 43
[7] Syaed Mahumudunnasir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. 1994. Bandung. Penerbit Remaja Rosdakarya. hal 318-319.

[8] W Watt Montgomory. Kerajaan Islam. 1990. Yogya. Tiara Wacana. hal 216

[9] W Watt Montgomory. Kerajaan Islam. Loc.Cit. hal 71
[10] Ahmad Syalabi. Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah. 1979. Mesir. hal 327
[11] Philip K Hitti. Loc. Cit. Hal 618
[12] Muhammad Surur Jamaluddin. Misr fi ‘Asr ad-Daulah Fathimiyah. 1960. Cairo. Maktabah an-Nahdhah. hal 33-34
[13] Philip K Hitti. Loc.cit. hal 619
[14] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2003. Jakarta. Prenada Media. Hlm 143

[15] Boswort. C.E. Dinasti-dinasti Islam. op.cit. hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar