Rabu, 12 Juni 2013

MAKALAH PEMBELAJARAN MORAL

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, moral adalah:
1. ajaran) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan;
2. kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi;
3. ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita;
Menurut Bertens, moral berawal dari bahasa latin mos, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral, keduanya berarti adat kebiasaa. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya, Etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Dalam Wikipedia dijelaskan, Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.
B.     Hubungan Moral dan Hukum
Menurut DR. Haryatmoko, dalam Kompas, 10 Juli 2001 mengatakan, ada lima pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.
Pola hubungan moral-hukum itu yaitu:
1.      Moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum positif.
2.      Hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik, birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
3.      Voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka pemahaman kedua menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan hukum.
4.      Moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara masalah agama dan masalah politik.
5.      Politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.


C.       Kondisi Moral Anak Usia Sekolah

Negara Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis moral. Moral anak – anak yang notabene adalah calon para penerus bangsa kini malah mulai tergerus oleh arus jaman, betapa tidak kini dengan mudah dijumpai anak – anak yang sangat tidak mencerminkan perilaku moral yang baik dan terpuji. Tindakan tersebut bukan hanya dicerminkan oleh para anak – anak remaja bahkan sampai pada anak – anak usia sekolah dasar yaitu kisaran 7 – 12 tahun.
Usia 7 – 12 tahun yaitu usia dimana tingkat kognisi anak sedang berkembang pesat jadi anak menerima segala bentuk pengetahuan baru secara utuh yang diberikan oleh segenap lingkungannya, apabila lingkungannya mendukung pada pembentukan moral yang baik maka akan terbentuk anak yang bermoral baik dan sebaliknya.
Terdapat beberapa contoh ciri – ciri anak usia sekolah dasar yang memiliki moral rendah antara lain :
1.      Tidak patuh terhadap orang tuanya
Salah satu ciri anak yang tingkat moralitasnya menurun yaitu anak tersebut tidak patuh pada orang tuanya. Tidak patuh disini berarti tidak mau menerima perintah orang tua untuk menjalankan perilaku terpuji. Contohnya anak yang diperintah untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam bila memasuki rumah, namun anak tersebut tetap teguh pendirian untuk tidak mau melaksanakannya .
Namun sebenarnya pengajaran mengenai moral di lingkungan keluarga tersebut tergantung pada didikan orang tua dan sifat anak. Didikan orang tua sangatlah berpengaruh pada pembentukan moral anak karena orang tua menjadi panutan dan teladan bagi anak, jadi baik buruknya anak tergantung pada baik buruknya perlakuan dan cara mendidik dari orang tua. Orang tua yang selalu memperhatikan tingkah laku anak, selalu mengajarkan kebaikan kepada anak, selalu membimbing akhlak anak, selalu mengajarkan etika dan sopan santun,selalu melatih anak untuk berfikir, selalu diberikan kasih sayang dan selalu mengajarkan anaknya untuk disiplin tentu akan membentuk anak seperti yang orang tua tersebut inginkan yaitu menjadi anak yang baik, berakhlak mulia,beretika dan sopan santun, cerdas, kreatif, serta disiplin. Berbeda dengan orang tua yang tidak pernah memperhatikan perilaku anak atau acuh tak acuh terhadap anak, tidak dapat memberikan kasih sayangnya, tidak dapat mendidik anak untuk beretika, sopan dan disiplin tentu akan terbentuk anak yang moralnya rendah.
2.      Berperilaku kasar
Anak – anak usia 7 – 12 tahun memang masih dalam masa anak – anak yang aktif. Namun saat sekarang ini banyak sekali anak yang hyperaktif sehingga anak tersebut kurang dapat mengendalikan emosinya, hyperaktif disini dimaksudkan anak – anak bertindak pada perilaku – perilaku negative yang biasanya mereka terima dari pengaruh lingkungannya karena sistem pikiran anak usia 7 – 12 tahun masih pada tahapan imitasi.
Perilaku negative anak dapat ditujukan contohnya saat ini terdapat anak yang sering terlibat perkelahian dan adu mulut dengan teman sebayanya, berani membentak orang tua, berbicara dengan kata – kata kasar. Hal ini merupakan salah satu perilaku yang akan membahayakan bagi perkembangan emosi anak apabila tidak ada peran pranata yang mampu mengendalikannya, pada realita yang terjadi saat ini tidak jarang terdengar kata – kata kasar yang secara gamblang terucap oleh anak – anak usia sekolah dasar
3.      Acuh tak acuh pada pelajaran
Salah satu contoh ciri – ciri anak yang memiliki keterbelakangan moral rendah yaitu acuh tak acuh pada pelajaran yang mereka terima. Biasanya guru – guru sekolah dasar menyebut mereka sebagai anak yang sulit diatur. Untuk dapat mengatasinya diperlukan suatu motivasi yang memberikan mereka kesadaran akan pentingnya pendidikan dan para pendidik harus mampu mengkondisikan pelajaran yang menyenangan bagi anak agar anak dapat mengikuti dengan baik walaupun anak tersebut sulit diatur sekalipun.
4.      Bersikap seperti orang dewasa
Saat ini banyak sekali kasus – kasus pada anak usia 7 – 12 tahun menyangkut perilaku seks yang seharusnya belum mereka ketahui saat masih dini. Kebrobokan moral yang menyangkut seksualitas anak usia dini ini merupakan dampak negative dari media – media yang tersebar dilingkungan anak.
  1. Faktor yang Menyebabkan Turunnya Moral Anak Usia Sekolah
Menurunnya moral anak dapat disebabkan dari beberapa faktor antaralain :
1.      Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri dan biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Jadi apabila sifat bawaan sejak anak dilahirkan baik maka akan sulit menerima hal – hal buruk yang berlawanan.
2.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Menurutnya Faktor ekternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya yaitu keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media audiovisual seperti TV dan VCD atau dunia maya atau internet , alat komunikasi serta media cetak seperti koran, majalah, dan lain sebagainya.
a. Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali berpengaruh terhadap perkembangan moral anak karena merupakan lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak. Pembentukan moral anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara orang tua mendidik mereka. Anak yang terlahir di lingkungan keluarga yang memiliki kedamaian baik lahir maupun batin tentu akan mengkondisikan anaknya pendidikan moral dalam keluarga yang baik pula, biasanya perilaku ini dilakukan oleh para orang tua yang berpendidikan dan peka terhadap pendidikan anaknya termasuk pendidikan moral agar diharapkan nanti anak tersebut mampu menjadi penerus keluarga yang dipandang baik oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya.
b. Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat dalam hal ini yang bersesuaian dengan anak usia sekolah contohnya anak usia 7 – 12 tahun adalah teman sebayanya, namun ada juga dalam suatu lingkungan dimana ada anak yang tidak memiliki rekan sebaya sehingga menyebabkan anak tersebut berkorelasi dengan anak dewasa yang umurnya terlampau jauh dari anak tersebut, dalam konteks ini dapat dilihat adanya kesenjangan pemikiran antara anak umur 7 – 12 tahun dengan anak dewasa, mereka memiliki pemikiran yang berbeda, jadi apabila orang dewasa tersebut membawa ajaran – ajaran negative maka anak akan terpengaruhi dan seolah – olah pemikirannya menjadi dewasa sebelum waktunya dalam hal yang negative. Tentu hal ini akan merugikan anak – anak usia 7 – 12 tahun tersebut karena mereka kehilangan masa kanak – kanaknya.
c. Dunia maya atau internet
Saat ini dunia maya telah dikenal oleh hampir semua kalangan masyarakat baik orang tua, dewasa bahkan hingga anak – anak. Anak – anak usia sekolah dasar pun kini turut menikmati kecanggihan teknologi itu, dengan internet kini di kalangan anak – anak sudah tidak asing lagi terhadap istilah game online yaitu permainan anak yang dihubungkan dengan dunia maya atau internet, biasanya game online ini disediakan di warnet (warung internet ).
Namun kecanggihan teknologi tersebut membawa pengaruh negative tersendiri terhadap anak, selain anak menjadi malas dalam belajar, game online tersebut merusak moral anak karena objek – objek yang ada bahkan hingga permainannya mengandung unsur – unsur kekerasan, pornografi dan perjudian. Tidak jarang anak – anak yang menghalalkan segala cara untuk dapat bermain game online dari berbohong pada orang tua hingga bolos sekolah. Tentu hal ini membawa pengaruh buruk terhadap moral anak.
d. Media komunikasi
Terdapat lagi kecanggihan teknologi masa kini yang telah terjangkau sampai anak – anak yaitu telepon genggam atau HP. Selain membawa pengaruh positif dalam bidang komunikasi, HP juga membawa dampak buruk khusunya kepada anak – anak. Karena HP semua mobilitas seakan berjalan keluar masuk tanpa hambatan sehingga banyak sekali akses hal – hal negative di dunia komunikasi saat ini. Hal – hal ini apabila sampai pada fikiran anak maka akan membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan moralnya.
e. Media masa
Media masa juga berperan dalam mempengaruhi pembentukan moral anak, contohnya saja televisi yang tidak jarang menampilkan adegan – adegan yang mengandung unsur pornografi, sehingga membuat anak – anak berkeinginan untuk mengaplikasikannya sendiri, tentu hal ini sangat membahayakan bagi perkembangan moral anak.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perilaku dan tindak amoral anak disebabkan oleh moralitas yang rendah dan moralitas yang rendah disebabkan oleh pendidikan moral di sekolah yang kurang efektif. Untuk itu perlu diintensifkannya pendidikan moral di sekolah, yaitu dengan dijadikannya pendidikan moral sebagai salah satu mata pelajaran khususnya di sekolah dasar.
Siswa sekolah dasar sebagai objek utama karena merupakan anak yang masih dalam tahap perkembangan imitasi sehingga apabila diberikan pengajaran moral di sekolah secara penuh maka akan terbentuk pula dasar perilaku moral anak yang baik, karena apabila tidak diberikan pendidikan moral sejak dini maka ketika dewasa anak akan terjerumus pada tindakan amoral yang lebih buruk. Pendidikan moral akan menjadi lebih intensif dan dapat menutrisi tingkat moral anak – anak secara mendasar kearah yang lebih baik karena segenap pola pikir dan perilaku moral anak akan dilatih dan dididik. Tujuan dari dijadikannya pendidikan moral sebagai mata pelajaran di sekolah adalah membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya.




1 komentar: